Senin, 28 Juni 2021

Makalah Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

 

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

  

 


 

 

Bela Ananda Kurniawati

21219317

2EB14

 

 

 

Fakultas Ekonomi

ATA 2020/2021

 


1.      Pengertian

Antitrust untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istilah monopoli. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.

Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Antimonopoli telah dirumuskan secara tegas dan jelas mengenai beberapa pengertian antara lain monopoli, praktek monopoli, pemusatan kekuasaan ekonomi dan persaingan usaha tidak sehat. Namun demikian untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hal itu dikemukakan juga pengertian-pengertian dari sumber lain.

Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidan industri atau bisnis tersebut. Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk didalamnya. Karena itu, hampir tidak ada persaingan berarti.Secara umum perusahaan monopoli menyandang predikat jelek karena di konotasikan dengan perolehan keuntungan yang melebihi normal dan penawaran komoditas yang lebih sedikit bagi masyarakat, meskipun dalam praktiknya tidak selalu demikian.

2.      Azas dan Tujuan

Berkaitan dengan keberadaan Undang–Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MonopliDan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli yang berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengwujudkan iklim usaha yang sehat di Indonesia.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :

1.      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

3.      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

4.      Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


3.      Kegiatan yang dilarang

Pasal 17

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a.       barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b.      mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c.       satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pasal 18

(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pasal 19

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a.       menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

b.      atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 

Pasal 21

Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

 

4.      Perjanjian yang dilarang

Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.

Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :

1.      Oligopoli

Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2.      Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :

a.       Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;

b.      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;

c.       Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;

d.      Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan. 

3.      Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4.      Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5.      Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

6.      Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

7.      Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

8.      Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9.      Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

10.  Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


 

Daftar Pustaka

Geger, Anchi. 2015. Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.  https://www.slideshare.net/anchitokyo/antimonopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat (diakses pada tanggal 28 Juni 2021).

http://repository.uin-suska.ac.id/7150/4/BAB%20III.pdf (diakses pada tanggal 28 Juni 2021).

https://ngada.org/uu5-1999bt.htm (diakses pada tanggal 28 Juni 2021).

Minggu, 20 Juni 2021

Makalah Perlindungan Konsumen

 

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

 

 

 



 

Bela Ananda Kurniawati

21219317

2EB14

 

 

 

 

Fakultas Ekonomi

ATA 2020/2021


 


1.      Pengertian Konsumen

Pengertian Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 angka (2) yakni: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendir, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemuakakan unsurunsur definisi konsumen:

1)      Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Mamun istilah orang menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lzim disebut natuurlijke person atau termasuk bahan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu konsumen harus mencakup juga bahan usaha dengan makna luas dari pada bahan hukum.

2)      Pemakai

Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk rumusan ketentuan tersebut atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

3)      Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti termologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-undang perlindungan konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

4)      Yang tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus bersedia di pasaran (lihat juga ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

5)      Bagi kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, Makhluk Hidup lain

Transaksi konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan unruk makhluk hidup, contohnya seperti hewan dan tumbuhan.

6)      Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah bisa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara.

 

2.      Azas dan Tujuan

2.1  Asas Perlindungan Konsumen

Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Asas Manfaat

Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.

2)      Asas Keadilan

Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.

3)      Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

4)      Asas Keamanan dan Keselamatan

Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

5)      Asas Kepastian Hukum

Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.

 

2.2  Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2)      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.

3)      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4)      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

 

3.      Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta, 2000:16).

 

Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 

2)      Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 

3)      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa. 

4)      Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 

5)      Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 

6)      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 

7)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 

8)      Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 

9)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 

2)      Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. 

3)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 

4)      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

 

4.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha.


Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 

2)      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 

3)      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

1)      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 

3)      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 

4)      Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

 

5.      Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 8 UUPK adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi, antara lain:

1)      Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan.

2)      Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto.

3)      Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

4)      Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika, atau keterangan barang atau jasa tersebut.

5)      Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label.

6)      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal.

7)      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran, berat isi atau neto.

 

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 9 UUPK adalah larangan dalam menawarkan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah:

1)      Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.

2)      Barang tersebut dalam keadaan baik/baru.

3)      Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.

4)      Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor atau persetujuan.

5)      Barang atau jasa tersebut tersedia.

6)      Tidak mengandung cacat tersembunyi.

7)      Kelengkapan dari barang tertentu.

8)      Berasal dari daerah tertentu.

9)      Secara langsung atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.

10)  Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.

11)  Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

 

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 10 UUPK adalah larangan untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :

1)      Harga suatu barang dan/atau jasa.

2)      Kegunaan suatu barang dan/atau jasa.

3)      Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.

4)      Tawaran potongan harga atau hadiah.

5)      Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

 

6.      Klausula Baku dalam Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen, klausula baku didefinisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen”.

Menurut Prof. Johanes Gunawan, pakar perlindungan konsumen, Perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikutsertakan konsumen dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-pasal yang terdapat dalam perjanjian baku. baik berbentuk elektronik/digital atau non-digital. 

Dalam konteks perlindungan konsumen, pihak yang posisi tawarnya lemah adalah konsumen. Pihak konsumen dinilai sangat rentan terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan produsen. Senada dengan Yohanes Gunawan, Menurut akademisi, Soemali “Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele, tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati.”

Pencantuman klausula baku sering digunakan pada bidang jasa keuangan, dengan mencantumkan syarat sepihak di mana keberadaan klausula yang menyatakan bahwa “Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur”, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain terdapat kesepakatan bahwa debitur menyetujui segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang telah diterima debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.

Peraturan mengenai klausula baku dibidang jasa keuangan tertuang pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 yang pada intinya menyebutkan Pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) merancang, merumuskan, menetapkan, dan menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen.

 

7.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

1)      Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan

2)      Cacat barang timbul pada kemudian hari

3)      Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang

4)      Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

5)      Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

 

8.      Sanksi

Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :

1)      Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap: pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut (pasal 8 ayat 1), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa (pasal 8 ayat 1), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar (pasal 8 ayat 2), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. (pasal 18 ayat 1 huruf b)

2)      Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.


 

Daftar Pustaka

http://repository.untag-sby.ac.id/413/3/BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal 21 Juni 2021).

Riadi, Muchlisin. 2018. Pengertian, Tujuan dan Asas Perlindungan Konsumen. https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html (diakses pada tanggal 21 Juni 2021).

http://e-journal.uajy.ac.id/16758/3/HK117172.pdf (diakses pada tanggal 21 Juni 2021).

Nurdiansyah Fery. Perjanjian Baku, Take It Or Leave It. https://bpkn.go.id/uploads/document/1f9b427cce632a7db7a640daaf804c55ab3fc806.pdf (diakses pada tanggal 21 Juni 2021).