ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
Bela Ananda Kurniawati
21219317
2EB14
Fakultas Ekonomi
ATA 2020/2021
1.
Pengertian Konsumen
Pengertian
Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dalam pasal 1 angka (2) yakni: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendir,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dari
pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemuakakan unsurunsur definisi
konsumen:
1)
Setiap orang
Subjek
yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/atau jasa. Mamun istilah orang menimbulkan keraguan, apakah
hanya orang individual yang lzim disebut natuurlijke person atau termasuk bahan
hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu konsumen harus mencakup juga bahan usaha
dengan makna luas dari pada bahan hukum.
2)
Pemakai
Sesuai
dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan konsumen, kata
“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).
Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk rumusan ketentuan tersebut
atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa yang dipakai tidak serta merta
hasil dari transaksi jual beli.
3)
Barang dan/atau
Jasa
Berkaitan
dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti termologi tersebut
digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa.
Undang-undang perlindungan konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda,
baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
4)
Yang tersedia
dalam Masyarakat
Barang
dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus bersedia di pasaran
(lihat juga ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang
makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi dituntut oleh masyarakat
konsumen.
5)
Bagi kepentingan
Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, Makhluk Hidup lain
Transaksi
konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan
makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri sendiri
dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang
lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan unruk makhluk hidup,
contohnya seperti hewan dan tumbuhan.
6)
Barang dan/atau
jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian
konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah
bisa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara.
2.
Azas dan Tujuan
2.1 Asas
Perlindungan Konsumen
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK
8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh
hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain
mendapatkan kerugian.
2) Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di
akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh
kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan
produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban
secara seimbang.
3) Asas
Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen.
Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat
yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
4) Asas Keamanan
dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan
hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang
dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam
ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
5) Asas Kepastian
Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi
hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu
pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.
2.2 Tujuan Perlindungan
Konsumen
Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan
kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud
suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal
3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2) Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian dan/atau jasa.
3) Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen.
4) Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
3.
Hak dan Kewajiban
Konsumen
Istilah
perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan
untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka
kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat
empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk
mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan
informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to
choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta,
2000:16).
Hak-hak
konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan atau jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau
penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
2) Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
4.
Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha
Menurut
Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Pelaku
usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam
perlindungan konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab
pelaku usaha.
Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif.
3) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
4) Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang
dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan
perjanjian.
5.
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 8 UUPK adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi, antara lain:
1)
Tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundangundangan.
2)
Tidak sesuai
dengan berat isi bersih atau neto.
3)
Tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya.
4)
Tidak sesuai
denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika,
atau keterangan barang atau jasa tersebut.
5)
Tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label.
6)
Tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal.
7)
Tidak memasang
label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran, berat isi atau
neto.
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 9 UUPK adalah larangan dalam menawarkan, mempromosikan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah:
1)
Barang tersebut
telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu
tertentu.
2)
Barang tersebut
dalam keadaan baik/baru.
3)
Barang atau jasa
tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu.
4)
Dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor atau persetujuan.
5)
Barang atau jasa
tersebut tersedia.
6)
Tidak mengandung
cacat tersembunyi.
7)
Kelengkapan dari
barang tertentu.
8)
Berasal dari
daerah tertentu.
9)
Secara langsung
atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
10) Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman,
tidak berbahaya, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
11) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum
pasti.
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha berdasarkan Pasal 10 UUPK adalah larangan untuk menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai
:
1)
Harga suatu
barang dan/atau jasa.
2)
Kegunaan suatu
barang dan/atau jasa.
3)
Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
4)
Tawaran potongan
harga atau hadiah.
5)
Bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa.
6.
Klausula Baku dalam
Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen, klausula baku didefinisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen”.
Menurut Prof. Johanes Gunawan, pakar perlindungan konsumen, Perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikutsertakan konsumen dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-pasal yang terdapat dalam perjanjian baku. baik berbentuk elektronik/digital atau non-digital.
Dalam konteks perlindungan konsumen, pihak yang posisi tawarnya lemah adalah konsumen. Pihak konsumen dinilai sangat rentan terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan produsen. Senada dengan Yohanes Gunawan, Menurut akademisi, Soemali “Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele, tetapi bagi konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati.”
Pencantuman klausula baku sering digunakan pada bidang jasa keuangan, dengan mencantumkan syarat sepihak di mana keberadaan klausula yang menyatakan bahwa “Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur”, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain terdapat kesepakatan bahwa debitur menyetujui segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang telah diterima debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
Peraturan
mengenai klausula baku dibidang jasa keuangan tertuang pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 13/SEOJK.07/2014 yang pada intinya menyebutkan Pelaku usaha jasa keuangan
(PUJK) merancang, merumuskan, menetapkan, dan menawarkan Perjanjian Baku, PUJK
wajib mendasarkan pada keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan
perjanjian dengan Konsumen.
7.
Tanggung Jawab
Pelaku Usaha
Dalam
pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Pasal
27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen, apabila:
1)
Barang tersebut
terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
2)
Cacat barang
timbul pada kemudian hari
3)
Cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4)
Kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen
5)
Lewatnya jangka
waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan
8.
Sanksi
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang pelanggaran- pelanggaran yang
dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :
1)
Dihukum dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,-
(dan milyard rupiah) terhadap: pelaku usaha yang memproduksi atau
memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran,
jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan
dalam label atau keterangan tentang barang tersebut (pasal 8 ayat 1), pelaku
usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa (pasal 8 ayat 1),
memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar (pasal 8 ayat 2), pelaku
usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau
perjanjian. (pasal 18 ayat 1 huruf b)
2)
Dihukum dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara
obral dengan mengelabuhi menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif
barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui
pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku
usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai
resiko pemakaian barang/jasa.
Daftar Pustaka
http://repository.untag-sby.ac.id/413/3/BAB%20II.pdf
(diakses pada tanggal 21 Juni 2021).
Riadi,
Muchlisin. 2018. Pengertian, Tujuan dan Asas Perlindungan Konsumen. https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html
(diakses pada tanggal 21 Juni 2021).
http://e-journal.uajy.ac.id/16758/3/HK117172.pdf
(diakses pada tanggal 21 Juni 2021).
Nurdiansyah Fery. Perjanjian
Baku, Take It Or Leave It. https://bpkn.go.id/uploads/document/1f9b427cce632a7db7a640daaf804c55ab3fc806.pdf
(diakses pada tanggal 21 Juni 2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar