ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
Bela Ananda Kurniawati
21219317
2EB14
Fakultas Ekonomi
ATA 2020/2021
1.
Pengertian Sengketa
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana
saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu
dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan,
antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat
keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan
pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks
hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun
keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau
salah satu pihak (Nurnaningsih Amriani, 2012: 12).
Menurut Nurnaningsih Amriani (2012: 13), yang
dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak
dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam perjanjian. Hal yang sama juga disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1)
yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di
mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun
perselisihanperselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah
suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling
mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat
terjadi karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau salah
satu pihak dalam perjanjian.
2.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Bentuk ADR/APS dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tidak dijabarkan lebih
lanjut pengertian dari masing-masing bentuk ADR/APS tersebut dalam UU
No.30/1999. Adapun, arbitrase dikeluarkan dari lingkup ADR/APS dan diberikan
definisi tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Berikut pengertian umum dari bentuk-bentuk ADR/APS
yang dirangkum dari beberapa literatur sebagai berikut:
1.
Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat
“personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan
pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien
sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2.
Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang
bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga
sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan
mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa
tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya
informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja.
Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk
mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam
transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga, dalam hal ini tidak terjadi sengketa; dan (2) untuk
memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak. Dengan
demikian, dalam negosiasi, penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak
yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
3.
Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan
intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif,
dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah
penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa.
Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan, maka
pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Meskipun demikian konsiliator
tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi,
yang pelaksanaanya sangat bergantung pada itikad baik para pihak yang
bersengketa sendiri.
4.
Mediasi
Pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa
dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan
mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa
alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan
sendiri oleh pihak yang bersengketa. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu
para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak
memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama
proses mediasi berlangsung.
5.
Penilaian Ahli
Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat
teknis sesuai dengan bidang keahliannya.
6.
Arbitrase
Berbeda dengan bentuk ADR/APS lainnya, arbitrase
memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian sengketa
adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau majelis arbiter
yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and binding. Namun
demikian, suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan apabila putusan
tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (lihat Pasal 59 ayat (1) dan
(4) UU No.30/1999). Dalam hal para pihak sepakat untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, maka sengketa tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan.
3.
Negosiasi
3.1 Pengertian Negosiasi
Secara etimologis, kata
negosiasi berasal dari bahasa Inggris yaitu 'to negotiate' dan 'to be
negotiating' yang artinya membicarakan, merundingkan, atau menawarkan. Dari
kata tersebut kemudian memiliki turunan lain, yaitu 'negotiation' yang artinya
aktivitas membicarakan atau merundingkan sesuatu dengan pihak lain untuk
mencapai kesepakatan.
Negosiasi merupakan
suatu proses komunikasi yang di mana dua pihak masing-masing dengan suatu tujuan
dan sudut pandang mereka sendiri berusaha akan mencapai kesepakatan yang
memuaskan kedua belah pihak tersebut mengenai masalah yang sama.
3.2 Tahapan Negosiasi
1)
Persiapan dan
Perencanaan
Tahap
pertama dalam negosiasi adalah persiapan dan perencanaan. Proses mengumpulkan
data diperlukan untuk mendukung posisi negosiator. Menyampaikan argumen dalam
proses mendukung posisi negosiator juga harus dengan bijaksana.
2)
Menentukan
Aturan
Pada
tahap ini harus menentukan garis besar dan aturan-aturan untuk melakukan proses
negosiasi, siapa yang akan menjadi bagian dari negosiasi dan masalah apa yang
akan dinegosiasikan.
3)
Penjelasan
Pada
tahap ini, tiap pihak harus mengutarakan apa yang diinginkan. Tiap pihak bisa
memberi dokumentasi atau pemaparan yang jelas dan diperlukan untuk mendukung
posisi masing-masing pihak.
4)
Tawar-menawar
dan Penyelesaian Masalah
Selanjutnya
tahap tawar-menawar dan penyelesaian masalah. Tahap ini bertujuan mencari
solusi. Kedua belah pihak diharapkan saling fokus pada masalah dan kepentingan,
bukan pada orang atau posisi dalam mencapai titik temu.
5)
Penutupan dan
Implementasi
Sedangkan
pada tahap ini atau tahap terakhir dari proses negosiasi. Segala sesuatu
diputuskan secara bersama. Tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
·
Dokumen yang
sudah disepakati.
·
Meneliti kembali
pon-poin utama untuk menghindari salah pengertian.
·
Uraikan dengan
jelas semua ketetapan dari persetujuan.
·
Kedua pihak
harus membaca dan menandatangani dalam memperoleh kesepakatan atas apa yang
dirundingkan.
3.3 Tujuan Negosiasi
1)
Untuk dapat
mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
2)
Untuk dapat
menyelesaikan masalah dan menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapi
para pihak-pihak yang bernegosiasi.
3)
Untuk bisa
mencapai suatu kondisi yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang akan
bernegosiasi di mana semuanya mendapatkan manfaat (win-win solution).
3.4 Manfaat Negosiasi
1)
Menciptakan
suatu jalinan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lainnya untuk dapat
mencapai tujuan masing-masing.
2)
Adanya saling
pengertian di antara masing-masing pihak yang akan bernegosiasi mengenai
kesepakatan yang akan diambil dan dampaknya bagi semua pihak.
3)
Negosiasi akan
bermanfaat bagi terciptanya suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan
bagi semua pihak yang akan bernegosiasi.
4)
Terciptanya
suatu interaksi yang positif antara pihak-pihak yang akan bernegosiasi sehingga
jalinan kerja sama akan menghasilkan suatu dampak yang lebih luas bagi banyak orang.
4.
Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh
Mediator. Sedangkan mediator sendiri adalah Hakim atau pihak lain
yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para
Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
peneyelesaian. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang diterbitkan
oleh Mahakamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahakamah Agung, yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti
dan lulus pelatihan sertifikasi Mediasi.
Pelaksanaan mediasi telah berkembang melalui proses
di pengadilan menuju kesempurnaannya yang ditandai dengan diterbitkannya PERMA
No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi dan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, yang diantara kedua aturan tersebut terdapat beberapa
point Penting yang berbeda, antara lain :
1)
Pertama, terkait
batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung
sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.
2)
Kedua, adanya
kewajiban bagi para pihak (inperson) untuk menghadiri secara langsung pertemuan
Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah
seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi
berdasarkan surat keterangan dokter, di bawah pengampuan, mempunyai tempat
tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri atau menjalankan tugas negara,
tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
3)
Ketiga, hal yang
paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik dalam proses mediasi dan
akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal
7 menyatakan : 1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi
dengan iktikad baik. 2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa
hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang
bersangkutan:
a.
Tidak hadir
setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan
Mediasi tanpa alasan sah;
b.
Menghadiri
pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya
meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan
sah;
c.
Ketidakhadiran
berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
d.
Menghadiri
pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume
Perkara pihak lain; dan/atau
e.
Tidak
menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan
sah.
Kemudian apabila
penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), maka berdasarkan Pasal 23, gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
22 PERMA No.1 Tahun 2016.
Penggugat yang
dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Mediator menyampaikan laporan
penggugat tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai
rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan
ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan
Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Hakim Pemeriksa Perkara
mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak
dapat diterima disertai penghukuman pembayaran Biaya Mediasi dan biaya perkara.
Biaya Mediasi sebagai
penghukuman kepada penggugat dapat diambil dari panjar biaya perkara atau
pembayaran tersendiri oleh penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui
kepaniteraan Pengadilan. Apabila Tergugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dikenai kewajiban pembayaran Biaya
Mediasi. Mediator menyampaikan laporan tergugat tidak beriktikad baik kepada
Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan
perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat
dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan
Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebelum melanjutkan pemeriksaan,
Hakim Pemeriksa Perkara dalam persidangan yang ditetapkan berikutnya wajib
mengeluarkan penetapan yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan
menghukum tergugat untuk membayar Biaya Mediasi.
Biaya Mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari biaya perkara yang
wajib disebutkan dalam amar putusan akhir. Dalam hal tergugat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimenangkan dalam putusan, amar putusan menyatakan Biaya
Mediasi dibebankan kepada tergugat, sedangkan biaya perkara tetap dibebankan
kepada penggugat sebagai pihak yang
Dalam perkara
perceraian di lingkungan peradilan agama, tergugat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihukum membayar Biaya Mediasi, sedangkan biaya perkara dibebankan
kepada penggugat. Pembayaran Biaya Mediasi oleh tergugat yang akan diserahkan
kepada penggugat melalui kepaniteraan Pengadilan mengikuti pelaksanaan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama
dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.
5.
Arbitrase
5.1 Pengertian Arbitrase
Abritase adalah penyelesaian masalah atau sengketa perdata di luar peradilan hukum. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para para pihak yang bersengketa.
5.2 Prosedur Arbitrase
Untuk menyelesaikan suatu sengketa melalui mekanisme
arbitrase, dibutuhkan kesepakatan antara kedua pihak yang bersengketa (yang
dapat dilakukan sebelum maupun setelah terjadinya sengketa). Karena alasan ini,
perjanjian secara tertulis harus dilakukan oleh kedua pihak sebelum arbitrase.
Di Indonesia terdapat beberapa badan khusus yang memfasilitasi proses
arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase
Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Bali International Arbitration and Mediation
Centre (BIAMC), dsb. Pada prinsipnya masing-masing lembaga arbitrase memiliki
prosedur sendiri dalam mengatur mekanisme beracara di Arbitrase yang
bersangkutan atau yang dikenal dengan istilah “rule of arbitration” meskipun
dalam praktek masing-masing lembaga Arbitrase membuka diri untuk menggunakan
prosedur lain yang disepakati para pihak. Secara Umum prosedur yang harus
dilakukan untuk permohonan proses arbitrase adalah sebagai berikut:
1)
Pendaftaran
Sebagai
tahap awal, pemohon dapat mengajukan pendaftaran permohonan arbitrase oleh
pihak yang memulai proses arbitrase kepada Sekretariat Lembaga Arbitrase yang
dipilih para pihak.
2)
Permohonan
Mengadakan Arbitrase (Request for Arbitration)
Dalam
mengajukan permohonan, pemohon harus menyertakan beberapa informasi:
·
Nama dan alamat
para pihak
·
Perjanjian
arbitrase antara pihak yang bersengketa
·
Fakta-fakta dan
dasar hukum kasus arbitrase
·
Rincian
permasalahan
·
Tuntutan atau
nilai tuntutan
3)
Dokumen
Pemohon
harus melampirkan salinan otentik yang terkait dengan sengketa yang
bersangkutan dan salinan otentik perjanjian arbitrase, dan dokumen lain yang
relevan. Apabila ada dokumen yang akan menyusul, pemohon harus konfirmasi
mengenai dokumen susulan tersebut.
4)
Penunjukan
Arbiter
·
Pemohon menunjuk
seorang arbiter sebagai pihak ketiga yang neutral paling lambat 30 hari
terhitung sejak permohonan didaftarkan. Jika pemohon tidak dapat menunjuk
arbiter, maka penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Lembaga Arbitrase yang
dipilih.
·
Ketua Lembaga
Arbitrase berwenang atas permohonan untuk memperpanjang waktu penunjukan
arbiter dengan alasan-alasan yang sah tidak melebihi 14 (hari).
5)
Biaya Arbitrase
Permohonan
mengadakan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran. Biaya
pendaftaran dibayarkan saat melakukan permohonan sebesar Rp 2.000.000,.
Sementara untuk biaya administrasi lebih beragam tergantung besar tuntutan.
Berikut daftar biaya administrasi sesuai dengan jenis tuntutan.
6.
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan
Litigasi
Perbedaan
dari litigasi dan arbitrase,
yaitu:
1)
Status Proses
Proses
arbitrase sebagai jalur penyelesaian masalah bersifat pribadi, hanya meliputi
kedua belah pihak yang bermasalah dan satu atau dua orang arbiter sebagai
pembuat keputusan. Proses ini pun bersifat informal dan dapat dilakukan di mana
saja. Berbeda dengan proses litigasi yang bersifat formal, dengan hakim sebagai
pembuat keputusan dan dilakukan di ruang sidang pengadilan.
2)
Lama Waktu
Penyelesaian
Dalam
proses litigasi atau pengadilan, suatu permasalahan baru bisa diselesaikan jika
pihak pengadilan telah memproses kasus tersebut, menunjuk hakim, dan melakukan
panggilan. Artinya, penyelesaian kasus akan memakan waktu berbulan-bulan. Belum
lagi jika pihak yang kalah mengajukan banding dan kasasi. Di sisi lain, proses
penyelesaian masalah dengan arbitrase memakan waktu yang lebih singkat. Jika
kedua belah pihak telah memilih arbiter, permasalahan pun akan langsung
diproses. Keputusan pun bisa segera diambil.
3)
Biaya yang
Dikeluarkan
Perbedaan
berikutnya adalah persoalan biaya yang akan dikeluarkan selama pelaksanaan
proses penyelesaian. Proses arbitrase umumnya tidak menggunakan tempat dan
tahapan yang panjang. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan pun tidak akan
terlalu tinggi. Biaya ini hanya meliputi pembayaran arbiter yang sesuai dengan
keahlian dan pembayaran pengacara. Sementara itu, dalam proses litigasi
dibutuhkan tahapan yang cukup panjang, mulai dari pendaftaran berkas ke
pengadilan, pembayaran pengacara, dan biaya pengadilan. Biaya tersebut akan
terus bertambah seiring dengan pengajuan banding dan kasasi. Tentunya, biaya
yang dikeluarkan untuk penyelesaian masalah secara litigasi akan lebih banyak.
4)
Penggunaan dan
Peran Pengacara
Dalam
proses arbitrase, pihak-pihak yang berselisih diperbolehkan menggunakan
pengacara. Namun, peran pengacara dalam proses ini sangat terbatas, karena
semua keputusannya ada pada arbiter. Sementara itu, peran pengacara dalam
proses litigasi amat luas, mulai dari mengumpulkan bukti hingga menunjukkan
hasil riset dan kasus mereka ke jajaran hakim di pengadilan untuk melakukan
pembelaan.
5)
Batasan Barang
Bukti
Bukti
menjadi salah satu hal paling penting dalam menyelesaikan perselisihan dan
melakukan pembelaan. Namun, aturan mengenai barang bukti ini tidak berlaku
dalam proses arbitrase. Kalaupun diberlakukan, prosesnya terbatas dan
dikendalikan oleh arbiter. Hal ini karena tidak ada panggilan pengadilan atau
interogator dalam proses arbitrase. Sementara itu, barang bukti adalah hal yang
wajib ada dan ditunjukkan oleh kedua belah pihak dalam proses litigasi. Barang
bukti ini berguna untuk menguatkan pembelaan dan argumen masing-masing pihak di
hadapan majelis hakim saat persidangan.
6)
Proses Banding
sebagai Upaya Hukum
Semua
putusan hukum bersifat mengikat, tak terkecuali arbitrase. Meskipun demikian,
pihak-pihak yang terlibat tidak memiliki pilihan banding, kecuali hal tersebut
diatur dalam pasal undang-undangnya. Berbeda dengan litigasi yang bisa
mengajukan banding dan kasasi setelah putusan dikeluarkan.
Daftar Pustaka
https://eprints.uny.ac.id/22029/4/4.BAB%20II.pdf
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
Yuniarti, Siti. 2017. RAGAM DAN BENTUK ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA. https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
Nugroho, Faozan Tri. 2021. Pengertian Negosiasi, Tahapan, Faktor Utama, Tujuan,
dan Manfaatnya yang Perlu Diketahui.
https://www.bola.com/ragam/read/4450557/pengertian-negosiasi-tahapan-faktor-utama-tujuan-dan-manfaatnya-yang-perlu-diketahui
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
Tim-IT Pengadilan Agama Kajen. TENTANG MEDIASI.
https://pa-kajen.go.id/v3/layanan-hukum/medias/tentang-mediasi
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
DSLA. Arbitrase: Pengertian,
Prosedur & Peraturan yang berlaku.
https://www.dslalawfirm.com/id/pengertian-arbitrase/
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
BPLawyers. 2018. PERBEDAAN
UTAMA PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN JALUR ARBITRASE DAN LITIGASI. https://blog.bplawyers.co.id/perbedaan-utama-penyelesaian-sengketa-dengan-jalur-arbitrase-dan-litigasi/
(diakses pada tanggal 12 Juli 2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar