ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
Bela Ananda Kurniawati
21219317
2EB14
Fakultas Ekonomi
ATA 2020/2021
1. Pengertian
Hukum Perikatan
Perikatan berasal dari
bahasa Belanda yaitu Verbintenis, KUH Perdata / BW (burgerlijk wetboek) tidak
menjelaskan atau menguraikan tentang istilah ataupun pengertian tentang
perikatan. Walaupun begitu, pengertian perikatan dapat kita peroleh dari
pendapat beberapa pakar hukum. Berikut beberapa pendapat pakar hukum tentang
perikatan:
1. Menurut
Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek
hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang
berhak atas sikap yang demikian;
2. Menurut
Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi;
3. Menurut
Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama
seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat
dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim;
4. Menurut
Prof. Subekti, Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu;
5. Menurut
Abdulkadir Muhammad, Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara
debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan;
Hukum
Perikatan (verbintenissen recht) adalah aturan yang mengatur hubungan hukum
dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogenrecht) antara dua orang atau lebih
yang memberi hak (recht) pada salah satu pihak (schuldeiser=kreditur) dan
memberi kewajiban (plicht) pada pihak yang lain (schuldenaar=debitur) atas
sesuatu prestasi.
Hukum
perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai
manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek
kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang
berkewajiban.
Hubungan
hukum dalam perikatan tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus
didahului oleh adanya tindakan hukum (rech handeling) yang dilakukan
pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi dan kewajiban pada pihak
lain.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
Perikatan yang timbul
karena persetujuan (perjanjian) terbagi menjadi 2 (dua) sumber yaitu:
1) Perjanjian
yang dapat dipenuhi (prestasi); yaitu Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.”
2) Perjanjian
yang tidak dapat dipenuhi (wanprestasi); yaitu tidak dipenuhinya suatu
kewajiban dalam perikatan, yang disebabkan kesalahannya dengan sengaja atau
disebabkan oleh kelalaiannya ataupun karena keadaan memaksa (overmacht / force
majeur). namun, untuk overmacht / force majeur dikecualikan dari kesalahan
debitur.
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal
dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata : “Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).
3. Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
3.1. Asas
Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Cara
ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para
pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai
Undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan
norma kesusilaan. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka kepada para
pihak diberikan kebebasan untuk:
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
2. Memilih
akan mengadakan / membuat perjanjian dengan pihak yang diinginkan;
3. Menentukan
isi, pelaksanaan, dan persyaratan perjanjian;
4. Menentukan
bentuk perjanjian yang akan dibuat, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan.
3.2. Asas
Konsensualisme.
Asas konsensualisme, artinya
bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
yang terlibat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu
formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan
diri, yaitu :
1. kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia-sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut;
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan;
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak;
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang
halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
3.3. Asas
Pacta Sunt Servanda.
Asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas
ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak, mengikat selayaknya
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh
melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat
dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang isinya “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”.
4. Wanprestasi
dan Akibat-akibatnya
4.1 Pengertian
Wanprestasi
Wanprestasi adalah
pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang
dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.
Istilah wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak
dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak
tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Berikut definisi dan
pengertian wanprestasi dari beberapa sumber buku:
1) Menurut
Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum
perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian.
2) Menurut
Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran terhadap suatu
kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam perjanjian tersebut.
3) Menurut
Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi
atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.
4.2 Bentuk
dan Syarat Wanprestasi
Menurut Satrio (1999),
terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:
1) Tidak
memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak
memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
2) Memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat
diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak
tepat waktunya.
3) Memenuhi
prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi
keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka
debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut
Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestasi adalah
sebagai berikut (Ibrahim, 2004):
1) Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2) Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3) Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga dikatakan dalam
keadaan wanprestasi, yaitu:
1) Syarat
materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan
adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui
serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b)
Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib
berprestasi seharusnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau
sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
2) Syarat
formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian
atau wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu
dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika
atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara
tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus
berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan
dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
4.3 Penyebab
Terjadinya Wanprestasi
Beberapa faktor yang
menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Satrio, 1999):
a. Adanya
Kelalaian Debitur (Nasabah)
Kerugian itu dapat
dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian
dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang
debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap
yang diambil olehnya akan timbul kerugian.
Sehubungan dengan
kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai
apabila tidak dilaksanakan oleh seorang debitur, yaitu:
1. Kewajiban
untuk memberikan sesuatu yang telah dijanjikan.
2. Kewajiban
untuk melakukan suatu perbuatan.
3. Kewajiban
untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan.
b. Karena
Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)
Keadaan memaksa ialah
keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi
suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui
atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa
tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.
Adapun unsur-unsur yang
terdapat dalam keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1.
Tidak dipenuhi prestasi karena suatu
peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu
bersifat tetap.
2.
Tidak dapat dipenuhi prestasi karena
suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat
bersifat tetap atau sementara.
3.
Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau
diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh
kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
4.4 Akibat
Hukum Wanprestasi
Akibat hukum atau
sangsi yang diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi adalah
sebagai berikut:
a. Kewajiban
membayar ganti rugi
Ganti rugi adalah
membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik
kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada
penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa
tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.
Ketentuan tentang ganti
rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga macam, yaitu:
biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas pengongkosan yang
nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala
kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang
sudah diperhitungkan sebelumnya.
Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.
b. Pembatalan
perjanjian
Sebagai sangsi yang
kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan perjanjian.
Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat melihat sifat
pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur malahan merasa
puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa dibebaskan dari segala
kewajiban untuk melakukan prestasi.
Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
c. Peralihan
risiko
Akibat wanprestasi yang
berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang,
seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat
pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas
tanggungannya.
5. Hapusnya
Perikatan
Menurut ketentuan Pasal
1381 KUHPerdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu :
1) Karena
pembayaran
Pengertian Pembayaran
di sini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang meliputi juga penyerahan
suatu benda.
2)
Penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan.
Apabila debitur telah
melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita,
kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu
kemudian debitur menitipkan pembayaran itu kepada Panitera Pengadilan Negeri
untuk disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi hapus (Pasal 1404
KUHPerdata).
3) Pembaharuan
hutang (Novasi)
Pembaharuan hutang
terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama
dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang
lama diganti dengan hutang baru terjadilah penggantian objek perjanjian, yang
disebut “novasi objektif”. Dalam hal terjadi penggantian orangnya disebut
“novasi subjektif”. Di sini hutang lama lenyap.
4) Perjumpaan
hutang (Kompensasi)
Perjumpaan hutang
terjadi apabila hutang piutang debitur dan kreditur secara timbal balik
dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini hutang piutang lama menjadi
lenyap.
5) Percampuran
hutang
Menurut Pasal 1436
KUHPerdata, percampuran hutang terjadi apabila kedudukan debitur dan kreditur
itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Dalam percampuran hutang
ini hutang piutang menjadi lenyap.
6) Pembebasan
hutang
Pembebasan hutang
terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi
prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pemenuhan perikatan.
7) Musnahnya
benda yang terhutang
Menurut Pasal 1444
KUHPerdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah,
tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan
sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, maka
perikatannya menjadi hapus.
8) Pembatalan
Menurut Pasal 1446
KUHPerdata, hanyalah mengenai soal pembatalan saja, tidak mengenai kebatalan.
Syarat untuk pembatan yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang
ditentukan tidak dipenuhi, maka perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbar,
voidable).
9) Berlaku
syarat batal
Pengertian syarat
disini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak,
syarat mana yang jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig,
void). Sehingga perikatan menjadi hapus.
10) Lampau
waktu (daluarsa)
Menurut Pasal
1946 KUHPerdata, lampau waktu adalah untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal ini
dapat diketahui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1. Lampau
waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut “acquisitieve
verjaring”,
2. Lampau
waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan,
disebut “extinctieve verjaring”.
Daftar Pustaka
Armandanu,
Ardi. 2019. Hukum Perikatan. https://www.ardiarmandanu.com/2019/04/hukum-perikatan.html (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).
DPP
FERARI. 2020. Pengertian, Bentuk, Penyebab dan Hukum Wanprestasi. http://www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-dan-hukum-wanprestasi/#:~:text=Wanprestasi%20adalah%20pelaksanaan%20kewajiban%20yang,menurut%20perjanjian%20tidak%20boleh%20dilakukan. (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).
Soengkono.
2015. Hapusnya Perikatan. http://www.sangkoeno.com/2015/01/hapusnya-perikatan.html#:~:text=Menurut%20Pasal%201444%20KUHPerdata%2C%20apabila,ditentukan%2C%20maka%20perikatannya%20menjadi%20hapus. (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).