Rabu, 31 Maret 2021

Makalah Hukum Perikatan

 

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

 

 


 

 

Bela Ananda Kurniawati

21219317

2EB14

 

 

 

Fakultas Ekonomi

ATA 2020/2021



1.      Pengertian Hukum Perikatan

Perikatan berasal dari bahasa Belanda yaitu Verbintenis, KUH Perdata / BW (burgerlijk wetboek) tidak menjelaskan atau menguraikan tentang istilah ataupun pengertian tentang perikatan. Walaupun begitu, pengertian perikatan dapat kita peroleh dari pendapat beberapa pakar hukum. Berikut beberapa pendapat pakar hukum tentang perikatan:

1.   Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian;

2.    Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi;

3.    Menurut Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim;

4.    Menurut Prof. Subekti, Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu;

5.    Menurut Abdulkadir Muhammad, Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan;

Hukum Perikatan (verbintenissen recht) adalah aturan yang mengatur hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogenrecht) antara dua orang atau lebih yang memberi hak (recht) pada salah satu pihak (schuldeiser=kreditur) dan memberi kewajiban (plicht) pada pihak yang lain (schuldenaar=debitur) atas sesuatu prestasi.

Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.

Hubungan hukum dalam perikatan tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus didahului oleh adanya tindakan hukum (rech handeling) yang dilakukan pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi dan kewajiban pada pihak lain.

 

2.      Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.

1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian). 

Perikatan yang timbul karena persetujuan (perjanjian) terbagi menjadi 2 (dua) sumber yaitu:

1)      Perjanjian yang dapat dipenuhi (prestasi); yaitu Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

2)      Perjanjian yang tidak dapat dipenuhi (wanprestasi); yaitu tidak dipenuhinya suatu kewajiban dalam perikatan, yang disebabkan kesalahannya dengan sengaja atau disebabkan oleh kelalaiannya ataupun karena keadaan memaksa (overmacht / force majeur). namun, untuk overmacht / force majeur dikecualikan dari kesalahan debitur.

2.      Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata : “Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).

 

3.      Azas-azas dalam Hukum Perikatan

3.1.  Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai Undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka kepada para pihak diberikan kebebasan untuk:

1.      Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2.      Memilih akan mengadakan / membuat perjanjian dengan pihak yang diinginkan;

3.      Menentukan isi, pelaksanaan, dan persyaratan perjanjian;

4.      Menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan.

3.2.  Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak yang terlibat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :

1.     kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia-sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut;

2.      Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan;

3.   Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak;

4.    Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

3.3.  Asas Pacta Sunt Servanda.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak, mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang isinya “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

 

4.      Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

4.1  Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Berikut definisi dan pengertian wanprestasi dari beberapa sumber buku:

1)     Menurut Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

2)  Menurut Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran terhadap suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.

3)  Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

 

4.2  Bentuk dan Syarat Wanprestasi

Menurut Satrio (1999), terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:

1)  Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2)  Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3)   Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):

1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

3)      Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga dikatakan dalam keadaan wanprestasi, yaitu:

1)      Syarat materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b) Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi seharusnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.

2)      Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.

 

4.3  Penyebab Terjadinya Wanprestasi

Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Satrio, 1999):

a.       Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.

Sehubungan dengan kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak dilaksanakan oleh seorang debitur, yaitu:

1.      Kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah dijanjikan.

2.      Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan.

3.      Kewajiban untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan.

b.      Karena Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa adalah sebagai berikut:

1.      Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap.

2.      Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.

3.      Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.

 

4.4  Akibat Hukum Wanprestasi

Akibat hukum atau sangsi yang diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:

a.       Kewajiban membayar ganti rugi

Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.

Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.

b.      Pembatalan perjanjian

Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan prestasi.

Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

c.       Peralihan risiko

Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas tanggungannya.

 

5.      Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu :

1)      Karena pembayaran

Pengertian Pembayaran di sini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang meliputi juga penyerahan suatu benda.

2)      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur menitipkan pembayaran itu kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi hapus (Pasal 1404 KUHPerdata).

3)      Pembaharuan hutang (Novasi)

Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru terjadilah penggantian objek perjanjian, yang disebut “novasi objektif”. Dalam hal terjadi penggantian orangnya disebut “novasi subjektif”. Di sini hutang lama lenyap.

4)      Perjumpaan hutang (Kompensasi)

Perjumpaan hutang terjadi apabila hutang piutang debitur dan kreditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini hutang piutang lama menjadi lenyap.

5)      Percampuran hutang

Menurut Pasal 1436 KUHPerdata, percampuran hutang terjadi apabila kedudukan debitur dan kreditur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Dalam percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap.

6)      Pembebasan hutang

Pembebasan hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pemenuhan perikatan.

7)      Musnahnya benda yang terhutang

Menurut Pasal 1444 KUHPerdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatannya menjadi hapus.

8)      Pembatalan

Menurut Pasal 1446 KUHPerdata, hanyalah mengenai soal pembatalan saja, tidak mengenai kebatalan. Syarat untuk pembatan yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang ditentukan tidak dipenuhi, maka perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbar, voidable).

9)      Berlaku syarat batal

Pengertian syarat disini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana yang jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void). Sehingga perikatan menjadi hapus.

10)  Lampau waktu (daluarsa)

Menurut Pasal 1946  KUHPerdata, lampau waktu adalah untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui ada dua macam lampau waktu, yaitu :

1.      Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut “acquisitieve verjaring”,

2.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut “extinctieve verjaring”.

 


 

Daftar Pustaka

Armandanu, Ardi. 2019. Hukum Perikatan. https://www.ardiarmandanu.com/2019/04/hukum-perikatan.html  (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).

DPP FERARI. 2020. Pengertian, Bentuk, Penyebab dan Hukum Wanprestasi. http://www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-dan-hukum-wanprestasi/#:~:text=Wanprestasi%20adalah%20pelaksanaan%20kewajiban%20yang,menurut%20perjanjian%20tidak%20boleh%20dilakukan. (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).

Soengkono. 2015. Hapusnya Perikatan. http://www.sangkoeno.com/2015/01/hapusnya-perikatan.html#:~:text=Menurut%20Pasal%201444%20KUHPerdata%2C%20apabila,ditentukan%2C%20maka%20perikatannya%20menjadi%20hapus. (diakses pada tanggal 29 Maret 2021).

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar