Senin, 05 April 2021

Makalah Hukum Perjanjian Baku

 

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

 

  

 



 

Bela Ananda Kurniawati

21219317

2EB14

 

 

 

 

Fakultas Ekonomi

ATA 2020/2021


1.      Standar Kontrak

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.

Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.

Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.

Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.

Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.

Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :

1)      Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda

Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :

Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.

2)      Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).

Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :

Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.

Ketentuan ini mengatur tentang :

a.       Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku

b.      Pengertian kontrak baku.

3)      Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :

Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.

4)      Pasal 2.21 berbunyi: dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.

5)      Pasal 2.22 berbunyi: Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.

6)      UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

7)      UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

 

2.      Macam-macam Perjanjian

Menurut Daris (2001), terdapat beberapa macam perjanjian yaitu sebagai berikut

1)  Perjanjian Timbal Balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

2)  Perjanjian Cuma-cuma. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

3)    Perjanjian Atas Beban. Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

4)  Perjanjian Bernama (Benoemd). Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.

5)  Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst). Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam prakteknya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.

6)      Perjanjian Obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

7)   Perjanjian Kebendaan. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

8)   Perjanjian Konsensual. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

9)   Perjanjian Riil. Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.

10)Perjanjian Liberatoir. Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

11)Perjanjian Pembuktian. Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

12)Perjanjian Untung-untungan. Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.

13)Perjanjian Publik. Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang pemerintahan.

14)Perjanjian Campuran. Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

 

3.      Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

1)      Sepakat untuk mengikatkan diri.

Sepakat maksudnya perjanjian ini harus sepakat antara kedua belah pihak dan harus setuju mengenai perjanjian tersebut. dan tidak mempunyai pengaruh pada pihak ketiga.

2)      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Maksudnya kecakapan disnih adalah membuat perjanjian dalam mengadakan suatu hubungan kontrak kerja atau yang berdasarkan perjanjian hukum.

3)      Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian.

Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.

4)      Sebab yang halal.

Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.

 

4.      Saat Lahirnya Perjanjian

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yaitu:

1)      Teori Pernyataan (Uitings Theorie)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

2)      Teori Pengiriman (Verzending Theori)

Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.

3)      Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Menurut teori ini saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.

4)      Teori penerimaan (Ontvangtheorie)

Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.

 

5.      Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

5.1  Pembatalan Suatu perjanjian

Penyebab Pembatalan Perjanjian:

1)   Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

2)      Pihak kedua mengalami kebangrutan atau tidak lagi memiliki secara finansial.

3)      Terlibat suatu hukum atau orang tersebut mempunyai masalah pada pengadilan 

4)      Tidak lagi memiliki wewenang dalam melaksanakan perjanjian.

5.2  Pelaksanaan Suatu perjanjian

Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.


 

Daftar Pustaka

Poernomo, Sri Lestari. 2019. Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/566#:~:text=Standar%20kontrak%20atau%20perjanjian%20baku,para%20pihak%20dalam%20melakukan%20transaksi. (diakses pada tanggal 5 April 2021).

Riadi, Muchlisin. 2019. Pengertian, Asas dan Jenis-jenis Perjanjian. https://www.kajianpustaka.com/2019/02/pengertian-asas-dan-jenis-perjanjian.html (diakses pada tanggal 5 April 2021).

Yunia, Safira. 2014. SAAT LAHIRNYA KONTRAK. http://safinayuniaa.blogspot.com/2014/12/saat-lahirnya-kontrak.html . (diakses pada tanggal 5 April 2021).

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar