ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
Bela Ananda Kurniawati
21219317
2EB14
Fakultas Ekonomi
ATA 2020/2021
1.
Standar Kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan
negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan
antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang
berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan
terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya
perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1)
Pasal 6.5. 1.2. dan
Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2)
Pasal 2.19 sampai
dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial
Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur
hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan
berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang
pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22. Syarat-syarat baku
merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara
umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa
negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a.
Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b.
Pengertian kontrak baku.
3)
Pasal 2.20 Prinsip
UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar
yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak
berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu
persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi
bahasa, dan penyajiannya.
4)
Pasal 2.21 berbunyi: dalam hal timbul
suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar,
persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5)
Pasal 2.22 berbunyi: Jika kedua belah
pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan,
kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan
untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan
untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6)
UU No 10 Tahun 1988
tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7)
UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang
diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena
pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan
asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga
perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2.
Macam-macam Perjanjian
Menurut Daris (2001), terdapat beberapa macam perjanjian
yaitu sebagai berikut
1) Perjanjian Timbal
Balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi
kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
2) Perjanjian
Cuma-cuma. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
3) Perjanjian Atas
Beban. Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang
satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum.
4) Perjanjian Bernama
(Benoemd). Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
5) Perjanjian Tidak
Bernama (Onbenoemd Overeenkomst). Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam
masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama.
Di dalam prakteknya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan
berkontrak mengadakan perjanjian.
6)
Perjanjian
Obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain
(perjanjian yang menimbulkan perikatan).
7) Perjanjian
Kebendaan. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak
itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.
8) Perjanjian
Konsensual. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
9) Perjanjian Riil. Di dalam KUH
Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan
barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan
barang, pinjam pakai.
10)Perjanjian
Liberatoir. Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri
dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.
11)Perjanjian
Pembuktian. Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
12)Perjanjian
Untung-untungan. Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan
kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.
13)Perjanjian Publik. Perjanjian Publik
adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik,
karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya
adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang
pemerintahan.
14)Perjanjian Campuran. Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.
3.
Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut
Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi
empat syarat yaitu :
1)
Sepakat untuk mengikatkan diri.
Sepakat
maksudnya perjanjian ini harus sepakat antara kedua belah pihak dan harus
setuju mengenai perjanjian tersebut. dan tidak mempunyai pengaruh pada pihak
ketiga.
2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Maksudnya
kecakapan disnih adalah membuat perjanjian dalam mengadakan suatu hubungan
kontrak kerja atau yang berdasarkan perjanjian hukum.
3)
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan
pokok perjanjian.
Syarat
ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi
perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4)
Sebab yang halal.
Sebab
ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya.
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang
oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.
4.
Saat Lahirnya Perjanjian
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan
saat lahirnya perjanjian yaitu:
1)
Teori Pernyataan
(Uitings Theorie)
Menurut teori ini, perjanjian telah ada/lahir pada saat
atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain
perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
2)
Teori Pengiriman
(Verzending Theori)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi
adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan
tanggal lahirnya perjanjian.
3)
Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
4)
Teori penerimaan
(Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan
tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si
penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.
5.
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
5.1 Pembatalan Suatu
perjanjian
Penyebab Pembatalan Perjanjian:
1) Adanya suatu
pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang
ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2)
Pihak kedua
mengalami kebangrutan atau tidak lagi memiliki secara finansial.
3)
Terlibat suatu
hukum atau orang tersebut mempunyai masalah pada pengadilan
4) Tidak lagi memiliki wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
5.2 Pelaksanaan
Suatu perjanjian
Itikad baik
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik
ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai
tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa.
Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian
tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Daftar Pustaka
Poernomo,
Sri Lestari. 2019. Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/566#:~:text=Standar%20kontrak%20atau%20perjanjian%20baku,para%20pihak%20dalam%20melakukan%20transaksi. (diakses pada tanggal 5 April
2021).
Riadi,
Muchlisin. 2019. Pengertian, Asas dan Jenis-jenis Perjanjian. https://www.kajianpustaka.com/2019/02/pengertian-asas-dan-jenis-perjanjian.html (diakses
pada tanggal 5 April 2021).
Yunia, Safira. 2014. SAAT LAHIRNYA KONTRAK. http://safinayuniaa.blogspot.com/2014/12/saat-lahirnya-kontrak.html
. (diakses
pada tanggal 5 April 2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar